Langsung ke konten utama

Pembelajaran Mandiri dalam Contextual Teaching and Learning

 
Sesuai dengan inti dari Contextual Teaching Learning (CTL) yang mengacu pada keterkaitan antara apa yang ‘dipelajari’ siswa dengan apa yang ‘dialami’ siswa dalam situasi sehari-hari, maka terdapat dua komponen penting di dalamnya, yaitu pembelajaran mandiri dan kerja-sama sebagai dasar dari pembelajaran mandiri.

1. Pentingnya Proses
Dewasa ini cukup banyak para ‘politisi pendidikan’ yang memaknakan sukses pendidikan sebagai pencapaian nilai atau skor tinggi pada tes ujian akhir. Selain itu terdapat banyak usaha untuk dapat ‘mempercepat’ atau ‘mengkarbit’ pencapaian belajar siswa semata-mata demi mencapai nilai skor tes yang tinggi.

Pada pembelajaran mandiri, khususnya dalam konteks CTL, adalah proses yang tidak dapat diukur dengan menggunakan tes standar. Dalam pembelajaran mandiri ini, siswa menemukan kaitkan antara materi yang diterima di sekolah dengan pengalaman nyata yang mereka alami sehari-hari. Proses penemuan ini membutuhkan waktu, namun hal ini akan mendorong siswa untuk tumbuh dan berkembang.

2. Definisi Pembelajaran Mandiri
Pembelajaran mandiri didefinisikan sebagai:
“Proses belajar yang mengajak siswa melakukan tindakan mandiri yang melibatkan terkadang satu orang , biasanya satu kelompok. Tindakan mandiri ini dirancang untuk menghubungkan pengetahuan akademik dengan kehidupan siswa sehari-hari secara sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang bermakna. Tujuan ini mungkin menghasilkan hasil yang nyata maupun yang tidak nyata.”
Hal ini mungkin bertentangan dengan proses pendidikan saat ini yang cenderung ingin ‘instan’ dan memperlakukan semua siswa sama rata-sama rasa, sehingga mengabaikan keunikan indirivdu siswa yang memiliki potensi kemampuan yang berbeda serta memiliki gaya belajar yang berbeda pula.
Pembelajaran mandiri membebaskan siswa untuk belajar sesuai dengna gaya belajar mereka sendiri, sesuai dengan kecepatan belajar mereka dan sesuai dengan arah minat dan bakat mereka dalam menggunakan kecerdasan majemuk yang mereka miliki.

3. Pengetahuan dan Keterampilan Penting dalam Pembelajaran Mandiri
Terdapat dua hal esensial sehububungan dengan hal ini. Pertama, pembelajaran mandiri mengharuskan siswa memiliki beberapa keterampilan dan pengetahuan tertentu seperti mengambil tindakan, keterampilan bertanya, membuat keputusan, berpikir kreatif dan kritis, memiliki kesadaran diri dan mampu bekerja-sama. Kedua, adalah mengharuskan siswa benar-benar melakukan hal tersebut.

a. Mengambil Tindakan
Intinya adalah dimana anak tidak hanya belajar secara ‘teoritis’ dengan membaca, melihat dan menonton saja, melainkan juga siswa aktif bertindak, ‘learning by doing’ dimana siswa mencari dan menggabungkan informasi secara aktif dari masyarakat,, ruang kelas maupun suber lainya, lalu menggunakannya untuk  alasan tertentu sehingga informasi tersebut akan tersimpan dalam ingatan (Souders & Prescot, 1999).

Siswa yang menghimpun menyentuh, memanipulasi objek secara langsung akan menyerap informasi dan menyimpan informasi lebih baik dibandingkan jika mereka hanya mendengar, melihat di televisi, film atau komputer.  Misalnya, siswa belajar mengenai pentingnya peninggalan arkeologi dengan menggali tulang-belulang yang tentunya sudah dikondisikan guru. Hal  ini akan jauh lebih menarik dan pengalaman tersebut akan lebih tertanam dalam benak siswa dibandingkan misalnya jika siswa hanya membaca mengenai peninggalan arkeologis.

b. Mengajukan Pertanyaan
Brooks & Brooks (1993) menyatakan bahwa untuk bisa mengerti, siswa harus mencari makna. Dan untuk dapat mencari makna, siswa harus punya kesempatan untuk membentuk dan mengajukan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan terbuka akan merangsang kreativitas dan rasa ingin tahu siswa, seperti misalnya: dari mana susu berasal. Dari pertanyaan sederhana ini bisa saja akan menjadi semakin mendalam sampai pada proses pembuatan, pasteurisasi dan mungkin strategi pemasarannya.

c. Membuat Pilihan
Dalam pembelajaran mandiri, siswa tidak hanya memilih rancangan kerja mereka sendiri melainkan juga memutuskan bagaimana mereka berperan serta dalam berpartisipasi sesuai bakat dan minat mereka. Selain itu, mereka juga dapat membuat pilihan akan gaya belajar apa yang sesuai dengan mereka, sehingga hal ini kelak dapat membantu siswa untuk mencapai prestasi atau keunggulan, dan juga membuat kegiatan belajar menjadi menyenangkan dan bermakna.

d. Membangun Kesadaran Diri
Dalam berinteraksi dengan diri sendiri dan orang lain siswa baik secara langsung dan tidak langsung mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri dan orang lain, serta belajar bagaimana untuk mengekspresikan emosi secara wajar sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya. Kesadaran diri yang diartikan sebagai kemampuan untuk merasakan perasaan saat perasaan itu muncul adalah kemampuan khas manusia. Kemampuan ini membuat kendali diri dan regulasi emosi menjadi memungkinkan. Keterampilan ini akan lebih terasah dikala siswa bekerja dan belajar serta berinteraksi dalam sebuah kelompok.

e. Kerja Sama
Ini merupakan komponen penting dalam CTL. Para siswa biasanya belajar dalam kelompok-kelompok kecil dan otonom. Kerjasama dalam kelompok dapat mengurangi hambatan akibat keterbatasan penalaman, pengetahuan dan cara pandang yang terbatas diantara individu anggota kelompok. Selain itu dalam belajar kelompok, dipelajari pula mengenai bagaimana cara mengemukakan pendapat, menghargai pendapat orang lain, berpikiran terbuka, belajar melakukan dialog atau pertukaran pandangan, serta mengambil keputusan bersama.

Di bawah ini disajikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan kerja-sama dalam kelompok:
·      Tetap fokus pada tugas kelompok
·      Bekerja kooperatif dengan anggota kelompok lainnya
·      Membuat keputusan kelompok
·      Meyakinkan bahwa setiap anggota kelompok memahami solusi yang ada dalam kelompok sebelum melangkah lebih lanjut
·      Mendengarkan dan menhargai pendapat orang lain
·      Bergantian dalam memimpin kelompok
·      Memastikan tiap anggota berperan aktif dan berpartisipasi serta tidak ada yang mendominasi kelompok
·      Bergiliran mencatat hasil diskusi kelompok

4. Proses Belajar Mandiri
Inti dari proses belajar mandiri adalah : PDSA (Plan, Do, Study, Act), konsep yang dikembangkan oleh Edward Deming (1994), dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Siswa secara mandiri menetapkan tujuan
Dengan cara ini para siswa diberi kesempatan untuk menerapkan keahlian personal dan akademik dalam kehidupan sehari-hari dan proses ini membantu mereka mencapai standar akademik yang tinggi.

b. Siswa mandiri membuat rencana
Siswa dalam kelompok secara kolektif menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rencana kerja mereka. Hal ini dapat berupa penyelesaian masalah, menentukan persoalan, atau menciptakan suatu projek. Penentuan langkah kerja ini tergantung dari tujuan kelompok. Dalam dinamika kelompok, berbagai keterampilan seperti pengambilan tindaka, bertanya, menganalisis informasi secara kreatif dan kritis, mengemukakan pendapat sekaligus menghargai pendapat orang lain. Kesemua hal  tersebut membantu siswa dalam melakukan pembelajaran mandiri yang lebih matang dan turut membentuk pola pembelajaran sepanjang hayat.

c. Siswa mandiri mengikuti rencana dan mengukur kemajuan diri
Dengan melakukan refleksi dan evaluasi diri, siswa akan belajar dari kesalahan yang mungkin mereka buat dan berusaha memperbaikinya serta melakukan adaptasi-adaptasi yang diperlukan.


d. Siswa mandiri membuahkan hasil akhir
Siswa dapat menentukan bagaimana mereka akan menampilkan hasil akhir dari kelompok mereka, apakah dengan menggunakan portofolio, dengan presentasi atau mungkin dengan suatu pertunjukan (performance). Hal ini kelak bermanfaat bagi kehidupan siswa di masyarakat, keluarga maupun dunia kerja nantinya.

e. Siswa melakukan penilaian autentik
Dengan melakukan penilaian terhadap hasil kerja siswa berupa portofolio, jurnal, presentasi dan performance siswa, guru akan dapat memperkirakan seberapa banyak dan seberapa dalam siswa menguasai materi pelajaran.

5. Peran Guru dalam Pembelajaran Mandiri
Pada dasarnya guru berperan dalam mengembangkan pengetahuan dan keahlian yang tidak akan siswa dapatkan dari sekedar menjawab pertanyaan factual mengenai topik tertentu. Dedikasi guru sangatlah penting dan tanpa hal ini, proses belajar mandiri akan gagal. Peran guru dalam CTL adalah sebagai ‘ahli’ yang menguasai materi serta memimpin siswa, sekaligus sebagai ‘mentor’ yang mengarahkan dan membimbing siswa.

6. Kesimpulan
Pembelajaran mandiri memberikan siswa kesempatan yang luar biasa untuk mempertajam kesadaran mereka akan lingkungan mereka dan memungkinkan siswa untuk membuat pilihan-pilihan positif tentang bagaimana mereka akan memecahkan masalah yang dihadapi sehari-hari.

Komentar Penulis:
Dalam konteks dunia pendidikan di Indonesia, pembelajaran mandiri dalam CTL, masih menjadi suatu ‘tantangan’ tersendiri. Hal ini karena adanya beberapa faktor sebagai berikut:

Pertama, secara nasional, paradigma pendidikan di Indonesia masih berpendapat bahwa keberhasilan seorang siswa adalah dikala siswa mencapai hasil cemerlang pada UN (Ujian Nasional). Sehingga fenomena yang terjadi di kota-kota besar adalah para siswa di kelas 3 SMP atau 3 SMA berlomba-lomba mengikuti ‘bimbingan tes’ agar ‘berhasil’ (baca: mendapat skor tinggi) pada UN. Proses pembelajaran di sekolah maupun di rumah dianggap tidak cukup dan masih harus ditambah dengan mengikuti kelas bimbingan tes. Contoh lain adalah siswa SD awal dan hampir pada semua jenjang banyak sekali yang mengikuti ‘les tambahan’ di luar sekolah khususnya untuk beberapa mata pelajaran tertentu. Sekali lagi dengan tujuan memperoleh nilai/skor tinggi pada ulangan harian maupun ujian semester. Paradigma ini akan menjadi penghambat dalam melakukan CTL khususnya dalam penerapan pembelajaran mandiri.

Kedua, kurikulum pendidikan di Indonesia yang sangat membebani siswa. Sebagai analogi, siswa dianggap sebagai suatu gentong yang harus dipenuhi dengan berbagai hal entah esensial maupun non-esensial, entah itu menarik minat siswa atau sesuai dengan bakat siswa, tetapi kesemuanya harus ‘dipelajari oleh siswa’. Misalnya, siswa SMA di Indonesia mempelajari sekitar 13-14 mata pelajaran! Tentu saja hasilnya adalah sesuatu yang ‘cenderung luas’ namun ‘dangkal’. Dalam arti, secara kuantitas memang banyak, tetapi secara konseptual dangkal. Bandingkan dengan negara yang dianggap maju di dunia pendidikan, misalnya Australia, dimana siswa SMA mempelajari 6 mata pelajaran dan siswa boleh memilih mata pelajaran apa saja yang hendak mereka pelajari sesuai dengan bakat dan minat mereka (memang ada beberap mata pelajaran wajib, namun itu pun terdapat beberapa variasi tingkat kesulitan, sehingga siswa dapat memilih yang sesuai dengan kemampuannya).

Ketiga, keterampilan para guru di Indonesia yang cenderung masih sangat terbatas. Berdasarkan pengalam pribadi salah-satu penulis, sangat banyak guru di berbagai daerah di Indonesia yang masih sangat minim pengetahuan mengenai pedagogi. Contohnya, kata ‘rubrik’ masih sangat asing bagi mereka. Padahal penggunaan rubrik dalam melakukan penilaian autentik dalam CTL merupakan hal yang esensial, demikian pula konsep mengenai portofolio, pembelajaran berbasis problem (problem based learning) maupun project based learning (PBL) masih sangat asing bagi sebagian besar guru di Indonesia. Demikian pula halnya mengenai keterampilan bertanya (questioning skills) yang dimiliki masih terbatas.

Keempat, walau pun masih banyak guru di daerah-daerah di Indonesia yang masih ‘kelabakan’ dan bingung dengan konsep kurikulum KTSP. Kurikulum yang baru ini sebenarnya memberikan peluang bagi para guru untuk menerapkan konsep ‘belajar mandiri’ dan CTL. Karena, yang ditentukan oleh kurikulum tersebut adalah kompetensi minimal yang harus dimiliki siswa pada suatu jenjang tertentu. Sedangkan cara dan proses untuk memperoleh standar kompetensi minimal tersebut diserahkan kepada sekolah masing-masing. Dengan demikian, sebenarnya memiliki peluang untuk dapat menerapkan CTL dan pembelajaran mandiri. Namun hal ini sangat bergantung pada kemauan pimpinan sekolah dan keterampilan serta kemauan para guru dari sekolah tersebut.

Kelima, walaupun secara umum gambaran kondisi pendidikan digambarkan seperti pada butir-butir sebelumnya di atas. Dalam 5-10 tahun terakhir ini sudah ada gerakan yang mungkin dari segi skala tergolong kecil, namun secara signifikan berusaha mengubah paradigma sukses belajar adalah memperoleh skor tinggi pada tes, dan berusaha menerapkan konsep pembelajaran sepanjang hayat. Dimana kemampuan dan keterampilan seperti berpikir kreatif, kritis, kemampuan bertanya, mengajukan argumen, menghargai pendapat orang lain, memecahkan masalah dan sebagainya mulai diterapkan di sekolah-sekolah. Tentu saja komitmen dan kesungguhan guru menjadi hal yang vital. Pada sekolah-sekolah inilah, baik swasta maupun negeri, konsep pembelajaran mandiri dan CTL mulai sedikit banyak diterapkan sesuai dengan kondisi dan kemampuan sekolah masing-masing. Demikian pula untuk para guru, mulai ada gerakan untuk melakukan ‘reflective practices’ misalnya dengan konsep ‘lesson study’ dimana pada dasarnya mereka melakukan proses atau langkah yang terdapat dalam belajar mandiri yaitu ‘plan, do and reflect’ guna melakukan perbaikan di masa kemudian.

Kesimpulan penulis:
Walaupun secara makro konsep CTL dan pembelajaran mandiri sebagaimana digambarkan pada buku Contextual Teaching and Learning masih memiliki banyak memiliki tantangan baik yang bersifat struktural, paradigma pendidikan serta keterbatasan teknis dan keterampilan para tenaga pendidik dalam penerapannya di Indonesia, namun demikian secara mikro, konsep ini sudah mulai diterapkan di sejumlah sekolah baik negeri dan terutama swasta namun tentunya disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, kemampuan teknis dan finansial serta visi dan misi sekolah tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1436 H di MTs Ath Thahiriyah Pucungbedug

Jum’at (24/10), Banjarnegara. Dalam rangka menyemarakan Peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1436 H, MTs Ath Thahiriyah Pucungbedug menggelar acara pawai karnaval keliling yang diikuti seluruh siswa dengan didampingi oleh wali kelas masing-masing. Acara tersebut juga ikut dimeriahkan oleh siswa-siswi dari MI Ma’arif Pucungbedug yang ikut bergabung mengikuti karnaval keliling mengelilingi sepanjang Desa Pucungbedug, Wiramastra, dan Wanadri. Acara tersebut dibuka oleh Kepala MTs ATh Thahiriyah Pucungbedug Drs. Sobahul Mundji, Jum’at (24/10) bertempat di halaman Madrasah. Diselenggarakannya pawai karnaval keliling ini adalah turut sertanya MTs Ath Thahiriyah Pucungbedug dalam memeriahkan Peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1436 H. Acara tersebut merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap tahunnya. Sekitar pukul 08.00 WIB, rombongan karnaval satu persatu mulai meninggalkan Madrasah untuk berkeliling desa. Rombongan karnaval ini menggunakan berbagai kustum unik seperti pakain mus